Tak
bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Sangat cantik seperti bidadari, Senyum
yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku…..
“Aku merindukanmu Della”
“Aku merindukanmu Della”
*****
“Della, ada bintang jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama della, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku serius, Dhit!!”
“Emang siapa yang nggak serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”
“. . . .”
“Dellaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Lidya hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non”
“iya iya,..aku duluan ya Dhit. Sampai besok…:)”
“Aku yakin banget, Del. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Del. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa” ucapku dalam hati setelah sosok Della melangkah menjauh dariku.
*****
“dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt” getaran HP
From : Della
+628133xxxxxxx
Adhit, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 09:05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Della. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Della sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin
Pukul 09:15. Della masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak mendapat respon.
To : Della
08133xxxxxxx
Del, kamu dimana? Uda jam berapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Del.
Tiga puluh menit.Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Della masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Della akan menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Della, ku mohon…
----Lima menit kemudian….----
“Adhittt!!!”
Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Della. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Della. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Dhit….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”
Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu.
“Nggak, Del… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Adhit,…?” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Dhit…. Nggak ada yang perlu dimaafin” ku rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya
“Emang
tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Del, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Del?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usah panjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
“Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Dhit…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Del. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergoLung anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Della bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Della pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini. Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Del, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Del?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usah panjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
“Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Dhit…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Del. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergoLung anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Della bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Della pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini. Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Del,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya?”
“Maksud lu? ” jawabnya terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya! Gua tuh coba bersikap perhatian dan romantis sama Lu! Respon yang agak bagus dikit kek!” protesku.
Dia
hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Dhit, kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Apaan?”
“Apaan?”
Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian.
“Kalau
nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main
bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu“
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Dhit”
“Bodo amat!!” jawabku sekenanya.
“Adhit,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante Lidya entar ngomel-ngomel sama aku…”
“Dhit,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin.
*****
“Nak, Adhit….” Suara tante Lidya lembut menyapaku.
Membangunkanku akan lelap.
“Udah Malam, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Della kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Adhit pulang dulu”
“ Hati-hati ya, Sayang”
“Udah Malam, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Della kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Adhit pulang dulu”
“ Hati-hati ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin
ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di
pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat aku
melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku teruskan
langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah taksi. Ku komando
sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut, aku tak
ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun lagu “Seven Years Of Luve”
. Sebuah lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Della dulu. Saat dimana aku bisa melihat senyumnya
yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah
hari dimana aku dan Della sempat
kembali mengukir janji. Della, aku
yakin kamu tak akan pernah melupakan janji kita itu.
*****
“Kak, ini lagu apa?” tanya Della sesampainya kami dalam mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Della”
“Iya, Den” jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Adhit. Jawab dong. Ini lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” aku hanya terdiam dengan pertanyaan Della
“Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya apaan yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian” Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Del?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven Years of Luve” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Viny. Dulu dia suka banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah satu lagunya”.
“Oh. Maaf kalau aku jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Viny. Aku..“
“Nggak apa. Nyantai aja” potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe tahun-tahun persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Del. Kamu kenapa sih?”
Ia hanya
diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran akan apa yang terjadi pada diri
Della. Sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Oh, Della. . . .
“Janji?”
ucap Della sambil mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
*****
Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Della tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk mendatangi rumah Della.
Ting tong
Ting tong
Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang tidak mau diganggu.
Ting tong. . .
Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban.
Satu menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?” seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Della.
“Della ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm“
“Kenapa, Bi? Della baik-baik aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Della kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Della nggak pamit ama aku, Bi? Della baik-baik aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Della dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener” jawab Bi Imah dengan suara pelan.
“Yaudahlah, Bi. Adhit pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang, bilang yah aku kesini nyari Della” ucapku pasrah kemudian.
“Permisi bi”
“Oh iya den”
“Oh iya den”
****
Hening masih ada. Berputar-putar di aNantia kami. Aku, Pak Arif, guru BioLugiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati tercekik rasa penasaran.
“Ehem..
ehem…” Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Adhit……” beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Adhit……” beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. “Kamu mendapat tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku cepat, tak perduli Pak Arief sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. “Wah makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk kamu” ucap Pak Sucipto penih wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak universitas te;ah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak, Adhit. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…” tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu, Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali, Nak”
“Permisi, Pak..”
*****
Kedokteran? Aku benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Aku sama sekali tak tertarik dalam bidang itu. Namun Pak Arif benar juga, ini kesempatan besar buatku. Aku harus bagaimana?
Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, ku buka laptopku. Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku gerakan jemariku merangakai sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.twitter.com. Setelah melaluiproses Lug in, aku telah sampai pada beranda dunia mayaku. Betapa terkejutnya aku saat kulihat akan adanya puluhan Direct Message dan pemberitahuan pada akun twitter-ku. Dan…. Itu semua dari Della.
Dia kembali… pantaskah aku mengatakan kata ‘kembali’ untuk munculnya kabar dari Della? Huh, aku tak tahu.
“Adhitttt… toktoktok” suara Ibu buyarkan lamunan ku yang tak karuan. “Ada Nak Della di depan…. Temuin gih,,,”
“Apa? Della?” batinku. “Iya, Bu… beNanti…” sahutku kemudian. “Della muncul setelah sebulan lebih menghilang…sebenarnya apa yang dia inginkan?” batinku masih tak percaya.
. . . . . .
“Hai, Dhit….” Sapa Della saat aku baru muncul dari balik tembok. Aku masih tak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Haruskah rasa marah dan kecewa atas hilangnya kabar darinya secara tiba-tiba, yang ku tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa rinduku padanya dan mengenyampingkan semua kecewaku?
“Ngapain lu kesini?” tanyaku begitu saja.
“Sory Dhit,… aku…”
“. . . .”
“Aku ada keperluan ama keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku—“
“Nggak bisa pamit atau ngasih kabar kek?!” potongku, kesal.
“Em… Aku…”
“Kenapa? Apa susahnya sih, Del?? Gua kecewa ama lu!”
“Dhit,… aku,,,” dia hanya menangis. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Huh, aku membenci pemandangan ini, melihat Della menangis.
“Udah lah, Del! KaLu Lu uda nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak ada yang Lu respon.” Ucapku mencak-mencak.
“Dhit,…” suaranya melemah. Wajahnya yang sedari tadi pucat, makin memucat kini. Air matanya terus mengalir.
Dia menangis.
Aku kian terbakar api emosi.
“keluar dari sini!” ucapku padanya dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
“Dhit,… aku“
“PERGI!!!” bentakku kemudian.
Aku berbalik. Berharap Della tak mengetahui akan air mataku yang mulai meluncur mulus di pipiku. Berharap Della segera menghilang dari rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa lama. Kemudian, ku dengarkan langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Della pergi…. Entah dia akan kembali atau tidak,… aku tak tahu…
Aku masih berdiri terpaku di sini. Di tempat, dimana aku telah mengusir Della, sahabatku. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di putar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Della teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu berakhir sampai disini?
“Dellaaaaaaaa” ku teriakkan namanya sekeras mungkin, berharap dia akan berhenti menjauh dari rumahku. Ku balikan tubuhku, segera aku berlari menyusulnya.
“Del…” ku tangkap sosoknya yang kian menjauh dari pintu utama rumahku. “Dellaaaaaaaa” kali ini ku teriakkan namanya lebih keras lagi.
Dia berhenti.
Aku pun berhenti berlari.
Dia berbalik.
Aku melangkah mendekatinya.
Dia menatapku.
Aku pun menatapnya.
“Del…” ucapku dengan napas tersengal.
“Dhit,…. Aku“
“Maafin aku ya, Del..” ku raih tubuhnya dan menariknya dalam dekapan tubuhku.
“Maaf,…Maaf Dhit…” ucapnya sambil terisak dalam dekapanku.
“sssst…..” ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat. “Udah,.. udah…semua udah berlalu. Aku yakin kamu punya alasan yang kuat untuk kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar baik nih,,,”
“Oh ya… apa?” ucap Della sambil mengusap garis air mata di pipinya.
“Aku dapet beasiswa, Del….”
“Oh ya? Waw, selamat yaa…” ucapnya girang sambil memelukku.“Hebat kamu…jurusan apa?”
“Itu masalahnya… aku bingung. Mereka nawarin aku di bidang kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat dalam bidang itu“
“keputusan kamu gimana?”
“. . . “ aku hanya dapat mengangkat bahu.
“Kamu tanya sama hati kamu” ucapnya sambil menunjuk dadaku, menunjuk dimana hati kecil berada
“makasii, Del. Lu emang yang terbaik…” ucap ku tersenyum
“iya sama-sama” gumam nya dengan senyum manis yang tergurat di wajah nya
“Nanti malam aku mau traktir kamu makan. Oke? Buat ngerayain ini. Nanti aku jemput deh. Gimana?”
“Nggak usah jemput lah. Nanti aku usahain ya, Dhit…. Aku pulang dulu, tadi aku bilang ke Mama nggak bakal lama-lama soalnya”
“okeh. See you later, girl! Jam 7 yah… hati-hati kamu“
*****
Pukul 20.00
Satu jam lebih aku mematung di sini. Ku lirik jam tanganku, berharap waktu berhenti detik ini juga. Ingin ku berikan kesempatan pada Della untuk dapat hadir di sini tepat waktu. Tapi….. lagi lagi ia tak tepat waktu. Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku. Ada apa lagi dengannya? Akankah dia menghilang lagi?
Jarum jam menunnukan pukul 20.45. Seharusnya kami telah berkumpul, menghabiskan waktu bersama dengan senda gurau, dengan tawa, dengan kegembiraan. Tapi…. Yang ada hanya aku yang sendiri, dalam hening, dalam sepi
Pukul 21.00
Ku putuskan untuk kembali ke rumah seorang diri. Seharusnya aku melangkah pergi dari tempat ini berdua. Mengantar Della pulang, karena hari telah larut. Semua tinggal rencana….. lagi lagi Della mengingkari janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji untuk selalu memberi kabar akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi Della telah membuatku kecewa.
****
“Dhit,… ada yang nyari tuh!!” seru Rendra kawanku dalam satu tim Futsal.
“Siapa?”
“Tuh” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis bermbut panjang dan berwajah pucat.
“Della?”
“. . .”Rendra hanya mengankat bahu. “Cantik Luh, tapi sayang wajahnya pucet banget. Temuin Sana”
Akupun segera melangkah
menemui della
“Ngapain Lu di sini?” ucapku kesal saat sampai di hadapannya.
“Aku tau hari ini kamu ada jadwal latihan Futsal. Jadi aku langsung ke sini aja. Dan ternyata tebakan aku bener, kamu ada di sini”
“Pulang sana! Aku sibuk!”
“Kamu marah?” dia bertanya dengan wajah polosnya. “Dhit, ….aku”
“Peduli apa Lu!! Pulang sana, Gua nggak butuh temen kaya Lu!! Muna!”
“Aku bisa jelasin, Dhit… malam itu aku“
“Kenapa? Lu nggak bisa dateng karena jam di rumah Lu mati lagi? Hape Lu Low batt, jadi Lu nggal bisa sms buat ngasih kabar ke Gua?!” omelku panjang lebar padanya. “Udah deh…. Gua capek!! Nggak sekali Lu kaya gini”
“Dhit..aku—“
“Dan Lu juga tahu kan, Gua paling nggak bisa toleran ama orang muna kaya Lu!!!!”
“Tapi, aku punya alasan untuk ini, Dhit!!! Dengerin dulu penjelasanku“
“Udah jelas semua!!!” potongku dengan nada suara yang kian naik. “PERGI LU!!! Enek Gua ngeliat Lu di sini!!” kata-kata jahat itu keluar tak terkendali dari mulutku. “PERGI!!!”
Aku berbalik dan segera melangkah pergi menjauh dari Della. Berharap kali ini aku tak akan berbalik dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku terlanjur luka dan bernanah. Aku benar-benar kecewa.
---beberapa menit
kemudian---
“Dhit… Dhit…..”
Dudi tergopoh gopoh ke arahku yang sedang asyik berkeluh kesah dengan bola Futsal.
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang barusan Lu temuin“
“Kenapa lagi?” potongku cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen ketemu Gua lagi? Usir aja! Bilang Gua lagi sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!” bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main. “Dimana?”
“Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh”
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang barusan Lu temuin“
“Kenapa lagi?” potongku cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen ketemu Gua lagi? Usir aja! Bilang Gua lagi sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!” bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main. “Dimana?”
“Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh”
Segera ku berlari menuju gerbang depan.
Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera ku raih tubuhnya. Ku periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian terasa dingin.
“Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!!” ucapku mencak mencak tak karuan.
“Della……… bertahanlah…..” bisikku padanya lemah.
*****
“Apa? Kanker otak?” aku tercengang. Della tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Tuhan….. “Kenapa dia nggak cerita? Kenapa…. Aku nggak pernah tahu tentang ini?”
“Maafkan tante, Sayang. Della sangat sayang sama kamu. Dia melarang tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu khawatir, Nak” jelas Tante Lidya dengan nada yang sengaja dibuat tenang.
“Separah apa kankernya?”
“Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah, Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Della. Sesampainya kami di rumah, Della langsung merengek memaksa untuk datang ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah. Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia memaksa agar dia nanti ke tempat latihan Futsal tempat kamu biasa latihan. Dia bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang………” tante Lidya terisak. Kalimatnya terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini berubah menjadi sesal.
Satu demi
satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Lidya dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti
dari beliau. Semua seakan terputar kembali, bagai sebuah film kelam yang sama
sekali tak ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan.
“Sabar ya, tante. Della itu orang yang kuat. Tante tahu itu kan?” hiburku pada tante Lidya seadanya.
“Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah menyatakan dia sembuh. Tapi…… kanker itu muncul lagi…… ” Tante Lidya tenggelam dalam isakan tangisnya yang pilu.
Papa Della terdiam. Aku pun tertdiam, terduduk lesu penuh sesal. Mengalir air mataku yang seakan percuma. Karena aku telah gagal melindungi Della. Gagal menjaga Della.
Kini aku tak tahu harus berbuat apa. Inginku putar kenbali waktu. Ingin ku cabut semua kata-kata kasarku pada Della. Ingin ku hapus semua prasangka burukku akan dia. Aku hanya bisa berlari. Membawa diri ini untuk menjauh dari badan Della yang masih dalam kondisi kritis. Aku ingin terus berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas segala segala rasa yang kini berkecamuk dalam dada.
Tiba-tiba langit mendung. Tetes-tetes air langit turun basahi tanah bumi. Gemuruh bergelegar, saling bersautan seakan alam sedang marah. Apakah sang alam marah padaku atas Della? Terkutukkah aku sudah?
.
“Tuhan….. kenapa Engkau gariskan ini terjadi padaku?” teriakku tak jelas, sesampainya aku pada suatu tempat yang dahulu sering ku kunjungi..
“Kenapa Engkau biarkan ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua kalinya, Tuhan? Belum cukup Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian Viny? Kenapa sekarang Della juga harus mengalami hal yang sama dengan halnya Viny? Apa aku tak boleh bahagia, Tuhan? Apa aku memang tak pantas untuk mencintai dan dicintai oleh orang-orang istimewa seperti mereka?”
Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyalahkan kuasaNya yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi aku mengadu kini?
“Viny, Lu tahu kan gimana hancurnya hati Gua saat Lu emang harus ninggalin Gua untuk selamanya?” tanyaku pada pusara yang ada di hadapanku. “Sekarang, Gua harus ngalamin lagi yang namanya kehilangan orang yang Gua sayang, Dek…”
Aku hanya dapat terus terisak. Terus tenggelam dalam banjiran airmata di bawah guyuran hujan. Terus berkeluh kesah akan semua sakit yang ku rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara yang bernisankan “Viny”. Sosok teristimewa dalam hidupku. Adikku…..
*****
“Kamu pinter banget menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar anak nakal!” ucapku pada sosok yang masih enggan membuka kedua matanya. Ia masih lelap dalam tidurnya yang panjang. Meski demikian, aku beserta keluarga Della yakin, Della pasti akan bangun dari lelapnya. Bangun untuk kembali tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat sang mentarii malu dan selalu ingin bersembunyi di balik awan.
“Kamu tahu kan hari ini adalah hari yang kamu tunggu setahun yang lalu. Tujuh tahun persahabatan kita. Kamu juga tahukan, sekarang aku uda kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak pengen tau ceritaku waktu di kampus? Seru banget, Del!” aku terus mngoceh sendiri. Entah, orang-orang di sekitarku telah menganggapku gila atau tidak. Tak peduli, yang terpenting Della segera sadar dan dapat kembali tersenyum. Walau matanya terpejam, aku yakin mata hati Della mampu merasakan semuanya.
Ku letakkan tangannya di atas kepalaku. Ke genggam erat tangnnya yang dingin. Ku cium punggung tangannya dengan penuh rindu, penuh sesal.
“Selamat hari persahabatan, Del. Seven years of our Love” bisikku sambil kembali mencium punggung tangannya.
Ku benamkan tubuhku dalam lipatan tanganku. Inginku pejamkan mata, dan menemuinya dalam alam bawah sadar. Mencari bayangannya dalam tiap kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku.
---pukul 21.00---
“Dhit…..”
Suara itu terdengar lemah. Suara yang hampir hilang dari pendengaranku 7 bulan lalu. Suara dari sosok yang ku rindu, . . . . . . . .Della.
“Kamu udah sadar?” responku spontan. “Biar aku panggil dokter yah, kamu tunggu bentar disini”
“Dhit,…” ucap Della sambil memegang pergelangan tanganku, menghentikan langkahku.
“Nggak usah. Aku baik kok. Aku lagi nggak pengen dapet ceramah dari dokter. Aku mohon..” ucapnya masih dengan lemah.
“Oke”. Ucapku patuh. “Aku akan kabarin Mama dan Papa kamu-“
“Dhit…” kembali Della menatapku dalam. Ia menggeleng. “Aku nggak mau ngerepotin mereka”
“ya ya ya” jawabku setengah kesal.
“Makasih” ucapnya sambil tersenyum
“Lu tidurnya lama amat, kaya kebo“ ucapku membuka perbincangan pertama kami setelah hampir 7 bulan kami mematung dalam perbincangan sunyi.
“Oh ya?”potongnya, berusaha memberi respon yang baik.
“Tapi…. Lu kebo paling cantik di dunia, Del.”
“Gombal Lu!”
“Aku masuk kedokteran” bisikku.
“Selamat, Dhit” senyumnya mengembang di bibirnya. Senyum yang selama ini aku rindukan. “Selamat hari persahabatn, Dhit” lanjutnya lirih.
“Selamat juga buat kamu, Del” dapat ku lihat senyumnya terus mengembang dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai bintang pagi yang indah.
“Sekarang tanggal berapa?” tiba-tiba dia bertanya demikian.
“29 Desember”
“Oh ya? Waktu berjalan cepet banget ya selama aku nggak sadar..”
“Kan aku uda bilang kamu tidur kaya kebo” godaku
“Aku pengen ke taman, Dhit. Bukannya kita uda janji untuk pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita?”
“Lu nggak lupa, Del :). Makasiih” batinku “Udah Malam, Del. Kamu juga baru sadar. Besok aja yah”
“Ayolah, Dhit….. semua akan beda kalau besok. Bukannya kamu juga udah janji?” rengeknya manja
“Nggak, Del!!”
“Dhit,…. Please”
“Diluar hujan, Del”
“Aku takut aku nggak punya waktu banyak untuk ini, aku“
“Lu ngomong apa sih? Kesempatan kita masih panjang” potongku karena risih akan kalimat yang belum terselesaikan oleh Della.
“Dhit,…” ku lihat mata beningnya mulai tergenangi air mata.
Ini adalah kelemahanku. Aku paling tak tega jika harus melihat seorang sahabatku seperti itu. “Oke, karena angka 7 merupakan angka bagus dan katanya sih membawa keberuntungan, aku anter kamu. Tapi inget, kamu juga harus sesuain sama kondisi kamu” jawabku kemudian.
“Oke, nanti kalau aku uda nggak kuat. Aku bakal ngelambaiin tangan kok”
“Sinting Lu! Aku percaya kamu” ucap ku sambil tersenyum
“hihihi makasih” balas nya melempar senyum pada ku
****
-pukul 23.45-
Hujan masih belum reda, makin deras malah. Aku dan Della masih mematung memandangi tiap tetes air langit yang turun, kemudian mengembun pada kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman ini dengan usaha yang tak mudah. Malam ini aku telah melakukan satu tindak criminal. Menculik anak orang, sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang baru sadar dari koma.
“Hujannya nggak kunjung reda. Mending kita balik aja yah. Besok kita ke sini lagi” ucapku pada Della yang sedang asyik melukis pada kaca mobil dengan embunan air yang ada.
Dia bebalik menatapku. Dia diam dalam beberapa saat. “15 menit lagi hari ini akan berakhir Dhit”
“Justru itu, Del. Mending kita pulang. Hari udah makin Malam dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi kamu, Del”
“Karena hari tinggal 15 menit lagi, ayo kita turun dari mobil dan kita langsung menuju ke rumah pohon. Akan menyenangkan walau waktu kita nggak banyak” ucap Della seakan tak mendengar apa yang aku katakan sebelumnya.
“Del,… Lu dengerin Gua ngggak sih?” protesku pada Della yang sedari tadi terus menerawang jauh dan terus berbicara tanpa melihat aku.
“Dhit…. Waktu terus berjalan. Waktu kita nggak banyak” ucapannya seakan menandakan bahwa ia benar-benar tak memperdulikan setiap ucapanku. “Ayo, Dhit…..” lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening meluncur mulus dari hulu pelupuk matanya
.
“Del,… come on…dengerin aku” paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…” ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Del. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja, Dhit. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini”
“Del,… come on…dengerin aku” paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…” ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Del. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja, Dhit. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini”
Ku tarik napas panjang. Berusaha untuk dapat memutuskan yang terbaik, tadi aku sudah mengalah untuk nekat membawa kabur Della ke taman ini, dan sekarang…..
“Okelah, Ayo” kubukakan pintu mobil untuknya.
“Thanks, boy”. Ucapnya senang, tentu dengan sebiah senyum yang sempat hilang selama beberapa bulan lalu.
Sesaat kemudian ia tampak bingung. Sepertinya ada masalah dengan kakinya. “Bisa bantu aku untuk sampai ke rumah pohon?” tanyanya ragu dan sungkan.
“Ow,.. withpleasure Princess,…:)” ku raih tubuhnya dan ku bopong dia. “Lu makin berat ya, harusnya tambah enteng!! Dasar kebo!!”
“Sialan Lu!! Sini biar aku pegang payungnya” tawarnya padaku.
Angin bertiup makin kencang. Pun hujan tak lekas untuk sekejap menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini makin memberatkan langkahku dan Della untuk dapat sampai di rumah pohon kami.
“Aaahh,…” Della memekik kaget saat tiba-tiba payung yang dibawanya terbawa tiupan angin. ‘Dhit,… maaf.. payungnya…” ucapnya dengan suara makin lemah yang beradu dengan derasnya suara hujan.
“tenang, Del. Bentar lagi kita sampe” ucapku tergopoh-gopoh.
Ku percepat langkahku. Tubuhku sudah kuyup, begitu pula Della. Melihat wajahnya yang kian memucat, aku makin khawatir dan merasa serba salah.
“Kita udah sampe, Del” ucapku pada Della yang tampak kian lemah di pangkuanku. Wajahnya kian memucat. Guyuran hujan makin membuatnya lemah.
“makasiih, Dhit…” ucapnya sambil meraba ukiran tulisan yang ada di pohon Mahoni milik kami. “Makasiih kamu udah mau temenin aku, jaga aku“
“Del,… udah… ” ku tatap matanya yang bulat nan penuh akan ketulusan cinta. Ia tetap menggigil walau sudah mengenakan jaket miliknya. Ku kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya yang kuyup. “Aku seneng banget bisa kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu”
“nggak kerasa ya, udah tujuh tahun kita sama-sama. Rasanya baru kemarin, tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya akan berakhir—“
“Sssstttt,…… ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat dan gemetar. “Waktu kita masih panjang” bisikku pilu.
“Aku harap, Dhit” ucapnya lelah sambil menarik masuk tubuhnya dalam dekapanku. “Maaf kalau selama ini aku nyembunyiin masalah ini ke kamu. Aku udah nggak jujur ke kamu”
Ku peluk ia erat. Semakin lama semakin ku eratkan dekapanku padanya. Dan makin terasa pula tubuhnya yang kian melemah dan gemetar. “Del, kita balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga kondisi kamu”
“Nggak, Dhit,….” Ia menggeleng di dadaku, dalam dekapanku. “Semenit lagi, Dhit… hanya tinggal semenit hari ini akan berakhir.. tetaplah seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Dhit.” Ucapnya makin lirih dan lelah dari sebelumnya.
Ku rasakan kulitnya yang kian dingin dalam genggaman tangannya. Ku eratkan pula dekapanku pada tubuhnya, hanya berharap agar ia masih bisa merasakan hangat. “Jangan tinggalin aku kaya Viny ya Del”
“Nggak, Dhit. Nggak akan.” Ucapnya pelan. “Dan asal kamu tahu, Viny nggak pernah ninggalin kamu, dia selalu ada di sisi kamu. Dia bener-bener adik yang istimewa, Dhit. Seperti kata-kata kamu dulu”
“Iya,… dia istimewa” ucapku dengan linangan airmata yang mulai jatuh. “Sama istimewanya sama kamu, Del” ucapku pahit. “Aku sayang sama kamu, Del”
“aku juga, Dhit” ucapnya sambil menatap mataku dalam. “Aku sayaaaang banget sama kamu :)” ujarnya sambil beruaha tersenyum wajar. Meski tetap saja senyumnya makin menambah pahit luka hati ini.
“I Love you” bisikku.
“really?”
“I do. You’re a special one in my life. My best friend. You never be changed in my heart” lanjutku padanya.
“I’m great to hear Del :). I Love you too, boy. You’re the best in my life. Kamu anugrah paling indah, Dhit.”
Ku dekap tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menatap matanya lebih lama. Tak memiliki daya untuk mendengarkan setiap kata yang diucapnya lirih dan lelah. Ingin terus ke peluk ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan, jika aku melepaskan dekapanku ini, maka aku akan kehilangan semuanya. Kehilangan untuk selamanya.
“Del aku harap kita bisa lebih dari
sekedar teman ya?” ucap ku pelan
“maksud kamu” gumam nya dengan muka
bingung
“Do you want to be a fixture in my life?”
ucap ku seraya menggenggam kedua tangan nya
“Of course my prince, I really want” ucap
nya dengan senyum seindah bintang di langit
Ku lirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 00.00 Tepat tengah hari. Jika sang jarum jam bergeser sepersekian detik saja, maka hari bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan dengan berjalannya sang waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti dengan rintik gerimis yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini menjinak berganti dengan tiupannya yang sepoi menenangkan.
“Del,… ayo balik ke rumah sakit. Hari udah berganti. Inget kondisi kamu” ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang waktu menunjukan pukul 00.01
“hmmm iya ayo dhit”
Kamipun kembali berangkat menuju rumah sakit, 1 bulan
2 bulan kanker otak yang menjangkit di dalam tubuh della secara ajaib mengecil,
dan pada bulan 3 kanker itu benar-benar hilang dan della pun dinyatakan sembuh
oleh dokter.
29 desember adalah tanggal yang tak akan pernah aku
dan della lupakan kami telah mengukir jalinan persahabatan selama 7 tahun. Dan pada
tahun 7 kekuatan cinta kami benar-benar di uji dan kami berhasil melewati itu
semua dengan cara yang tak pernah terlintas di pikiran kami sebelum nya. Kini di
tahun ke 8 adalah awal baru bagi kami berdua awal memulai jalinan cinta yang
lebih dari sekedar sahabat. Dan kami percaya semua harapan kami akan tentang
cinta ini akan bertahan lama, selama bumi masih berada di poros nya, selama
tumbuhan masih terus tumbuh keatas, selama dunia ini masih ada, cinta kami tak
akan pernah mati.
Created
by: Adhityo N
Follow
my twitter: @adhityo_np
Jika
anda ingin mengcopy teks ini harap cantum kan nama pengarang dan sumber.
Arigatou J
njirrr dua tetes air mata kiri gue menetes baca cerita sebelum endingnya. gue pikir bakal sedih, eh ternyata happy ending. sempet gak percaya kalo yg nulis ini cowok.... keren banget sumpah!
BalasHapushehehe arigatou udah mau mampir, sering-sering main kesini ya
HapusKeren:')
BalasHapus